Mapay Jalur Kidul
First of all...
Yak, Happy Eid Mubarak, guys! Saya harap kalian semua dalam keadaan sehat, pulang mudik dengan selamat, dan dibekelin oleh-oleh sama sanak saudara dari udik sana! Hihi.
Alhamdulillah, tahun ini saya dan keluarga masih diberi kekuatan baik dalam raga maupun ekonomi untuk berpulang ke lembur sana. Kampung halaman saya sebenernya deket, saya masih sekomplek sama eyang, nenek satu-satunya dari pihak mama.
Setelah shalat Ied, kami caw ke rumah eyang yang di blok I untuk makan. Setelah itu, kumpul-kumpul sama keluarga mama di Cibaduyut. Nggak lama kok, hanya silaturahmi, salam-salaman, cerita-cerita sama tante muda saya yang sama-sama anak Fakultas Ilmu Budaya tapi beda almamater, terus caw ke rumah baba di Sumedang setelah lohor.
Sumedang-nya bukan Sumedang kota, melainkan suatu desa bernama Buah Dua. Kenapa namanya Buah Dua? Karena di lembur ini, dalam satu tangkai ada dua buah mangga. Kayak kembar siam gitu deh. Jalan ke lembur sini asyik deh mendaki gunung lewati lembah, halah. Kiri-kanan sawah, tapi sayang gak sehijau di musim penghujan. Air sungainya pun saat. Untung masih jernih.
Nah, lucunya, di lembur baba ini selalu ada ‘anak baru’ tiap taunnya. Secara, baba saya 9 bersaudara. Kebayang kan sepupunya ada berapa, keponakannya ada berapa, belum dari keluarga iparnya. Jadi di rumah tuh selalu rame sama bocah-bocah kecil yang bahkan baba saya sendiri ga tau itu siapa.
“Lho? Ieu budak saha? Asa karek ningali...”
“Ai Ncep, ieu teh incu! Ieu teh putrana Neng Cindy, apan taun kamari teh hamil si Neng Cindy teh, tah ieu budakna...”
“Astagfirullah! Naha geus boga incu deui? Ari nu ieu budak saha?” ...dan seterusnya :)) *) Dan saya yakin, taun depan saya pasti punya keponakan baru. Atau mungkin saya tiba-tiba dipanggil nenek sakin njelimetnya pohon keluarga ini juga bisa =))
Saya nginep hanya sehari di sini, karena paginya saya mau caw ke Pangandaran. Saya lewat semua jalur alternatif yang memutar karena baba benci macet. Jadi saya selalu lewat jalan desa yang ngelewatin danau—yang ternyata namanya Situ Panjalu, dan makan di warung pinggir jalan sambil twitteran, ngetawain orang-orang yang ngeluh karena kena macet. Hihihi.
Terus, entah cuma karena perasaan aja atau sayanya emang lagi melankolis, perjalanan kali ini sangat romantis. Saya liat bintang-bintang di atas sana. Baru kali ini saya lihat bintang sebanyak dan secerah itu. Mungkin karena di sekeliling saya gelap, jadi bintangnya keliatan jelas. Anginnya pun seger. Udah disuruh tutup jendela berapa kali pun, saya tetep betah mejeng di sana sambil ngeliat langin. Lalu saya pun teringat sang mantan..............oke stop! =))
Haha, ga ding, saya bilang romantis itu karena pemandangan di depan saya.
Jadi, depan mobil saya ada truk besar dengan orang-orang di atasnya. Yang berdiri paling belakang adalah (kayaknya) pasangan muda. Si cewek sedari tadi saya perhatiin udah mijet-mijet kepalanya, pusing. Semenit kemudian, dia mengeluarkan isi perutnya. Muntah. Suaminya megang tengkuk dia, mijet-mijet, lalu tangannya yang satu lagi megang anaknya yang masih kecil. Setelah si wanita tadi muntah, si suami meluk dia sepanjang perjalanan. Biar ga kedinginan, biar ga masuk angin. Mereka bertiga pun berpelukan di suatu pojok truk yang penuh sesak.
Saya dan adek yang nonton pemandangan di depan itu cuma bisa saling pandang sambil makan keripik kentang. “So sweet ya dek...” Si adek ngangguk, “Iya. Coba bisa lemparin minyak kayu putih ke sana ya.” Saya pun terharu. Beruntunglah saya dan keluarga nggak perlu sesengsara naik truk atau naik pick-up. Ga kebayang kalo saya mesti mudik pake truk. Berdiri sepanjang hari, duduk pun takut kegenet, kena panas, belum lagi kena polusi yang bikin batuk-batuk dan mabol. Alhamdulillah wa syukurillah, kami punya kendaraan roda empat yang nyaman. :’)
Itulah yang bikin saya salut sama orang Indonesia. Kemanapun mereka mudik, pasti dijunjung. Dengan cara apapun itu. Semacet apapun, sepanas apapun. Demi bertemu keluarga mereka yang jauh, atau demi menyenangkan anak-anak tercinta untuk main ke tempat-tempat wisata tertentu.
Mama sempet ga setuju kami nerusin perjalanan ke Pangandaran, apalagi kami bakalan terus jalan lewat jalur selatan sampe ke pantai Rancabuaya. Masalahnya, si adek tiba-tiba diare. Tapi baba selalu bilang, “Papa gimana Kiki. Kalo Kiki mau ke Pangandaran, papa turutin. Asal Kiki senang, asal teteh senang...” Woohoo daddy I love you! Padahal, baba saya sendiri punya masalah juga dengan pencernaannya. Tapi beliau tetap rela nyetir ratusan kilometer demi kami, demi keluarganya. Mama juga akhirnya luluh, sekalian belanja kain buat pasokan selimut, katanya.
Jadilah selama 4 hari 3 malam saya dan mama, baba, adek meninggalkan Bandung. Dari Cibaduyut, Pangandaran, sampe finish di Pantai Rancabuaya, Pameungpeuk. Saya pun sempet ke lokasi ‘penculikan’ Keenan dan Kugy dari novel Perahu Kertas-nya Dee yang akan saya ceritakan di lain waktu. Yep, mungkin ini dalah perjalanan saya yang paling jauh dan lama. Dan meski jauh dari comfort zone kami di Jalan Alam Raya III no. 15, perjalanan kali ini sangat worth it.
Seperti yang orang-orang bilang, it’s not the destination, but the journey.
Thanks to my belooooooved family!!! *pelukin satu-satu*
Komentar
Posting Komentar