Perempuan; samakah derajatnya?
Tempo hari lalu si Dika tiba-tiba curhat soal dosennya yang beropini soal kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Kata dosen tersebut, lelaki itu payah karena nggak bisa ngurusin anak, beres-beres rumah, masak ini-itu sekaligus berkarir juga. Jadi, suaminya itu diremehkan karena nggak se-multitasking dia. Kami berdua nggak ngerti dan nggak setuju sama apa yang diomongin beliau. Padahal, perempuan ya perempuan, punya karakteristik, punya peran sendiri.
Saya jadi keinget omongan guru sosiologi saya waktu SMA dulu, Bu Mimin. Beliau bilang lelaki dan perempuan itu sederajat. Tapi bukan berarti bahwa perempuan punya hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Seorang perempuan punya perannya sendiri, pun lelaki. Perbedaan itulah yang menunjukkan kesederajatan antara lelaki dan perempuan.
Saya emang nggak begitu ngerti apa maksud beliau, tapi karena asupan teori seperti itulah yang membuat saya berpikir bahwa lelaki dan perempuan itu memang diciptakan sedemikian beda untuk saling melengkapi. Kalau memang yang dimaksud orang-orang tentang kesamaan derajat adalah persamaan hak dan kewajiban, lantas kenapa Tuhan menciptakan lelaki dan perempuan dan bukannya menciptakan satu jenis saja?
Gini deh. Secara biologis fisik lelaki lebih kuat daripada perempuan. Sudah hukum alam, sudah sewajarnya kalau lelaki lebih banyak ngerjain tugas lapangan daripada perempuan. Perempuan bukannya nggak boleh ngerjain tugas berat macam itu, tapi kan sudah ada lelaki yang mengerjakannya–jadi kenapa harus dikerjakan oleh perempuan kalau ada yang lebih bisa–dan lebih kuat?
Lelaki diciptakan untuk mengerjakan tugas apa yang perempuan nggak bisa–begitupun perempuan. Itulah sebabnya kenapa Tuhan menciptakan lelaki dan perempuan; untuk saling melengkapi.
Tapi, kenapa masih ada yang bilang bahwa perempuan itu derajatnya lebih rendah daripada lelaki?
Dikotomi antara lelaki dan perempuan itu inevitable. Mau nggak mau, suka nggak suka, pasti bakal tetep ada. Ada suatu ideologi, namanya ideologi Purdah. Ideologi tersebut nge-judge bahwa perempuan itu lebih rendah derajatnya dari lelaki karena:
(1) perempuan itu ‘sakit’. Mereka mengalami menstruasi, bisa hamil, harus melahirkan, dan menopause. (2) secara psikis dan fisik, perempuan itu lemah, tidak stabil, dan pasif.
Berdasarkan fakta-fakta ilmiah itulah didapat asumsi bahwa perempuan itu lebih lemah daripada lelaki–yang maka dari itu derajatnya lebih rendah daripada lelaki.
(1) perempuan itu ‘sakit’. Mereka mengalami menstruasi, bisa hamil, harus melahirkan, dan menopause. (2) secara psikis dan fisik, perempuan itu lemah, tidak stabil, dan pasif.
Berdasarkan fakta-fakta ilmiah itulah didapat asumsi bahwa perempuan itu lebih lemah daripada lelaki–yang maka dari itu derajatnya lebih rendah daripada lelaki.
Padahal, tanda-tanda tersebut tidak menunjukkan perbedaan derajat–hal tersebut namanya kenyataan.
Sebenarnya, perbedaan antara lelaki dan perempuan itu bukan dilihat dari sisi biologis–isn’t that obvious? itu sudah hukum alam, nggak ada sangkut pautnya–tapi dilihat dari sisi sosio-historis. Pendapat bahwa ‘perempuan itu inferior’ kebanyakan didapat dari pengaruh-pengaruh luar, yaitu prototipe orang-orang itu sendiri.
Allah sudah menegaskan bahwa semua umat di mataNya adalah sama, so why so rempong? Derajat kita itu sama.
Tapi, kenapa masih ada wanita karier? Bukannya perempuan seharusnya diam di rumah dan mengurus anak?
Iya, tadi saya bilang bahwa persamaan derajat itu bisa terintegrasi kalau lelaki dan perempuan mampu menjalani perannya masing-masing dengan baik. Tapi bukan berarti bahwa pembedaan ini nggak punya privilege tertentu, misalnya kebebasan bertindak dan berprestasi.
Saya pernah nguping pembicaraan orang-orang di angkot, ada seorang mahasiswi yang ditanya soal cita-citanya. Dia menjawab dengan mantap, “Saya mah ingin jadi istri yang solehah dan jadi ibu yang baik aja, hehe.” Si orang yang nanya bukannya ngedoain atau mengamini, tapi dia malah sinis dan bilang, “Ya elah, kalau mau kayak gitu doang mah ngapain repot-repot kuliah? Entar ilmunya gak kepake dong kalo cuma diem di rumah.”
Aneh. Seperti yang ditulis di buku Wanita Islam Korban Patologi Sosial karya Mazhar ul-Haq Khan, kebebasan manusia dalam bertindak dan merencanakan masa depannyalah yang membuat dunia mereka berkembang. Manusia hidup karena mimpinya, atas apa yang dicita-citakannya, atas apa yang direncanakannya.
Memang, kebanyakan kaum intelektual berjenis kelamin laki-laki. Sebut saja Aristoteles, Adolf Hitler, Shakespeare, James Watt, atau siapapun itu. Lelaki memang punya pola pikir yang lebih abstrak dibandingkan perempuan, mereka benar-benar berpikir menggunakan otak–lain halnya dengan perempuan yang terkadang suka menyangkutpautkan semua masalah dengan hati.
Tapi, apa salahnya kalau perempuan ingin berprestasi?
Pernah ada riset yang membuktikan bahwa perempuan dengan intelektual tinggi mampu menanggung hal-hal berat lebih baik daripada yang lain. Sama halnya dalam rangka membesarkan anak–wanita yang berpendidikan akan lebih mendorong anaknya supaya lebih berprestasi, lebih melek dunia, dan nggak akan ngajarin anak-anaknya pemikiran-pemikiran kuno yang menyesatkan. Apalagi jaman sekarang, laki-laki juga pasti nyarinya perempuan yang berpendidikan.
Soal kegiatan si istri setelah menikah–ya itu tergantung suaminya. Sukur-sukur kalau dibolehin ngurus anak sambil kerja. Saya selalu diajarkan oleh ibu saya supaya mandiri–cari suami yang ngebolehin kerja biar pas paitnya, kalau ada apa-apa, seenggaknya saya nanti punya duit pegangan sendiri, nggak melulu tergantung sama suami. Just in case.
Jadi, masih mau bilang ngapain kuliah kalau akhirnya cuma megang urusan anak, dapur
dan kasur?
Intinya, manusia itu semuanya sederajat. Punya hak dan kewajiban masing-masing. Termasuk hak untuk berprestasi, hak untuk beremansipasi. Barang siapa yang berinisiatif untuk mengubah sedikit cara hidupnya dari prototipe orang-orang yang sama sekali tidak benar, maka sebenarnya ia sedang dalam proses untuk mengembangkan dunianya.
Sekarang, siapa yang nggak mau menaikkan taraf hidup?
Komentar
Posting Komentar