Fear God Alone

Di buku fiksi ilmiah yang lagi saya baca--Divergent--ada suatu ruangan yang namanya "fear landscape", yaitu tempat dimana seseorang mengalami simulasi rasa takutnya. Di ceritanya, fear landscape ini bagian dari suatu "ujian" bagi para initiates. Semacam ospek untuk masuk suatu faksi gitu. Caranya mudah, peserta tinggal duduk, kemudian disuntik semacam serum. Lalu masuklah ke mode simulasi.

Si tokoh utama, Tris, punya 7 rasa takut. Di antaranya ada burung gagak, tenggelam, dan kehilangan keluarga. Yang lainnya ada yang punya sampai 20 rasa takut, dan yang paling sedikit yang pernah didata adalah 4 rasa takut. Nggak ada yang nggak punya rasa takut.

Indeed.

Kalau beneran ada fear landscape, entah berapa rasa takut yang saya punya. Salah satunya takut tenggelam. Bukan karena saya nggak bisa berenang aja, tapi karena saya pernah ninggalin adik tenggelam di laut and that will not ever happen again, plis saya trauma hahaha. Atau mungkin, saya nggak akan pernah masuk ke ruang fear landscape. Dan kalimat barusan menandakan bahwa saya adalah seorang pengecut karena menghindari ketakutan hahaha.

Tapi, seberani-beraninya orang, pasti punya rasa takut. Gak bisa dipungkiri. "Becoming fearless isn't the point. That's impossible. It's learning how to control your fear, and how to be free from it. Sometimes they do go away, and sometimes new fear replaces them." (p.239).

How to be free from it?
.
.
.
Lalu saya tetiba kepikiran...
.
.
.
Mana bisa kita bebas dari-Nya?

Di kamar Tobias, salah satu tokoh di novel tersebut, terpampang satu poster yang bertuliskan: FEAR GOD ALONE.

Ah, right. Saya kadang lupa. Lupa diri, lupa waktu, lupa takut, lupa akan azab-Nya.

Astagfirullah.

Kita bisa takut apapun--serangga, tenggelam, penculik, bencana--dan get away from them, tapi ada satu yang nggak bisa kita tolak untuk ditakuti--bahkan harus selalu tertanam dalam diri kita--akan azab-Nya, akan siksa-Nya: Allah.
Fear doesn't shut you down. It wakes you up.
.
.
Thanks for reminding me, dear Divergent.

Komentar